Beliau adalah al – Imam al –
Hafidz al – Faqih Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syarof bin Hasan bin Husain
bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam an – Nawawi an – Naisaburi asy – Syafi’i.
Beliau lahir tepat pada tanggal 20 Muharram tahun 631 H di sebuah desa yang
bernama ‘Nawa’ yang termasuk bagian
wilayah Hauran, negara Suriah
(Syria). Di desa inilah beliau tumbuh dan belajar membaca al – Qur’an serta
menghafalkannya ketika usianya menginjak tujuh tahun.
Tanda
– tanda kelak beliau akan menjadi tokoh besar yang disegani kawan maupun lawan,
mulai nampak semasa kecilnya. Diriwayatkan pada suatu ketika tepatnya pada
malam 27 Ramadhan, an – Nawawi kecil tidur bersama kedua orang tuanya, tiba –
tiba ia terjaga dan membangunkan kedua orang tuanya seraya berkata : Wahai Ayah
! Cahaya apakah itu yang telah menerangi seisi rumah ini ?. Mendengar perkataan
an – Nawawi kecil semua penghuni rumah pun terbangun, namun mereka tidak
melihat sesuatu apapun seperti yang dikatakan an – Nawawi kecil. Walhasil,
ternyata malam itu adalah malam lailatul qadar.
Sewaktu
beliau masih kecil, anak – anak seusianya tidak mau berteman dengan beliau.
Setiap kali an – Nawawi kecil bergabung dengan mereka untuk ikut bermain, teman
– temannya tidak suka dan mengusirnya. Hal ini membuat perasaannya sedih dan
merasa dikucilkan, akhirnya an – Nawawi kecil pun menyingkir dari mereka sambil
menangis tersedu – sedu. Dalam keadaan seperti ini, an – Nawawi kecil justru
melantunkan ayat – ayat suci al – Qur’an dan menghabiskan waktunya untuk
belajar, mengaji dan membantu orang tuanya menjaga toko.
Pada
usia Sembilan belas tahun, tepatnya tahun 649 H, beliau dipesantrenkan /
dipondokkan oleh orang tuanya ke kota Damaskus (iku kota Suriah) dan
diasramakan di madrasah / ma’had ar – Rawahiyah
selama dua tahun. Selama itu beliau jarang tidur dan jarang makan. Waktunya
dimanfaatkan sebaik mungkin untuk belajar, membaca, menghafal dan memahami
berbagai ilmu. Saking uletnya, dalam tempo waktu empat bulan setengah saja, beliau
sudah hafal kitab at – Tanbih dan
seperempat kitab al – Muhadzdzab.
Subhanallah !, padahal kedua kitab itu, katab yang tergolong besar, tebal dan
sulit.
Beliau
tidak pernah menyia – nyiakan waktunya, semua waktunya beliau sibukkan dengan
mempelajari berbagai macam ilmu agama dari para gurunya. Sampai berjalan untuk
pulang dan pergi pun, beliau manfaatkan untuk membaca, menghafal dan memuraja’ah (mengulang – ulang)
pelajaran – pelajarannya. Walhasil, dalam tempo dan kurun waktu yang singkat,
ditunjang oleh otaknya yang luar biasa cerdas, beliau menjelma menjadi seorang
pemuda dan ulama muda yang a’llaamah (sangat
a’lim) dan sukar dicari tandingannya.
Setelah
itu, tepatnya pada tahun 660 H, sewaktu usia beliau mencapai 30 tahun, beliau
mulai menyibukkan diri dengan mengajar, berfatwa, berijtihad, berjihad dan
mengarang dalam berbagai macam ilmu – ilmu agama. Sejak saat itu pula, keilmuan
dan keulamaannya mulai diakui dan diperhitungkan oleh ulama – ulama besar di
masanya.
Dalam
hal keilmuan, beliau dikenal sebagai seorang yang mutafannin (menguasai dan membidangi semua ilmu agama). Terutama ilmu hadits dan ilmu fiqih. Dalam dua fan ilmu inilah, kapasitas dan nama
beliau begitu harum dan menjulang tinggi serta dicatat dengan tinta emas.
Fatwa, ijtihad dan karya beliau dalam dua ilmu itu, diakui, dikagumi dan
dijadikan rujukan oleh para ulama dan ilmuwan di seluruh dunia dari dulu hingga
sekarang.
Dalam
fan hadits, beliau dijuluki dan
menyandang gelar al – Hafidz (gelar
kesarjanaan yang tinggi dalam ilmu hadits). Dan dalam fan fiqih, kedudukan beliau adalah sebagai Mujtahid Fatwa dan mujtahid
madzhab dalam madzhab Syafi’I, yang sampai sekarang belum ada ulama yang
mampu meraihnya lagi, karena begitu sulit dan berat syarat – syarat untuk
meraihnya. Beliau seorang ulama yang sangat produktif, banyak sekali kitab yang
telah dikarangnya, semuanya manfaat, barakah, diakui bobotnya, dan dijadikan
rujukan oleh para ulama setelahnya, di antara kitab – kitab hasil karya beliau
ialah :
1. Syarah
Shahih Muslim (lebih dari 10 jilid tebal).
2. Riyadhus
Shalihin.
3. Al
– Adzkar.
4. Al
– Irsyad fi Ulumil Hadits.
5. At
– Taqrib.
6. Al
– Mubhimat.
7. Al
– Arba’in.
8. At
– Tahrirul Fazh.
9. Al
– Idhah.
10. Al
– ‘Umdah.
11. Al
– Manasik.
12. At
– Tibyan fi adabi hamalatil Qur’an.
13. Ar
– Raudhah.
14. Minhajut
Thalibin.
15. Al
– Fatawa.
16. Al
– Majmu’ Syarah Muhadzdzab (30 jilid tebal).
17. Dan
masih banyak lagi.
Para
ulama mengakui beliau sebagai Imam yang ahli berfatwa, amat dalam dan detail
(muhaqqin) pemahamannya, seorang ulama dan waliyullah yang sangat bertaqwa,
shalih, zuhud, wara’, ‘adil, tsiqah, qana’ah, sabar, ahli ibadah, sangat
dipercaya riwayatnya, sangat mendalam pemahamannya terhadap al – Qur’an dan as
– Sunnah beserta ilmu – ilmunya. Para ulama juga mengatakan, jika menghitung
karya – karya beliau yang sangat banyak, yang semuanya berbobot dan berkualitas
kemudian dibandingkan dengan umurnya yang hanya 45 tahun, dipotong 30 tahun
karena beliau mulai mengarang di umur 30 tahun. Maka, hal itu adalah suatu ‘keajaiban’ dan ‘karamah’ dari Allah swt.
Selain
mengarang, mengajar, dan berfatwa, aktivitas beliau sehari – hari adalah
menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar. Beliau tidak mengenal rasa takut
menghadapi siapapun, sekalipun raja atau pejabat tinggi. Jika mereka melenceng
dari aturan al – Qur’an dan aturan as – Sunnah, maka beliau tidak segan – segan
menasehatinya dengan penuh hikmah dan mau’idzah hasanah. Jika beliau tidak
sempat berhadapan dengan mereka, maka beliau akan melakukannya dengan melalui
surat.
Karena
begitu cintanya kepada Allah, Rasul – Nya, dan Islam, juga karena beliau begitu
isytigal (sibuk) dengan ilmu dan
menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, sampai akhir ayatnya beliau belum sempat
menikah. Setiap hari beliau berpuasa, kecuali dihari – hari yang diharamkan,
makan dan minumnya hanya sekali di waktu sahur. Ketika berbuka, beliau hanya
menelan beberapa tetes air saja, sekedar untuk membatalkan puasanya,
Subhanallah !.
Sekitar
tahun 676 H, beliau pulang (mudik ke desanya (Nawa)), untuk Shillaturrahim dan menjenguk orang tua,
guru dan kerabatnya. Setelah itu, beliau berkunjung ke Baitul Maqdis di
Palestina. Sekembalinya dari kunjungan tersebut, beliau mulai sakit – sakitan.
Hingga akhirnya, pada malam Rabu tanggal 24 Rajab tahun 676 H, beliau wafat di
rumah kedua orang tuanya di desa Nawa. Semoga Allah mencurahkan rahmat – Nya
kepada beliau, sosok ulama yang sangat shalih, yang seluruh hidupnya di khidmahkan (di dharma baktikan) untuk
ilmu, jihad dan I’zzul Islam wal Muslimin. (Biografi singkat Imam Nawawi
disarikan dari kitab Kifayatul Atqiya wa
minhajul Ashfiya (Semarang : Toha Putra,tt), hal. 95 – 96.
Dikutip dari : Kitab Arba’in Nawawi
Komentar
Posting Komentar